Lukisan Kasih yang Retak: Bocah 8 Tahun Tewas Di tangan Ibu Tiri dan Ayah yang Berdiam Diri
Info Ujoh Bilang- Sebuah kisah kekejaman yang memilukan dan mengoyak nurani terjadi di balik dinding sebuah rumah di Jalan APT Pranoto, Sangatta Utara, Kutai Timur. Seorang bocah laki-laki berusia 8 Tahun, MA, harus meregang nyawa setelah menjadi korban penganiayaan brutal yang diduga dilakukan oleh orang yang seharusnya melindunginya: ibu tirinya sendiri.

Baca Juga : Pemerataan Gizi Jeblok Anggota DPR Soroti 5 Daerah Gurun Layanan Kesehatan
Pelaku utama, EP (32), diduga tega menyiksa anak tirinya dengan menggunakan berbagai benda tumpul. Yang lebih menyedihkan, ayah kandung korban, SW (33), yang menikahi EP secara siri, justru diam seribu bahasa menyaksikan kekerasan yang berujung maut itu terjadi.
Akar Kekejaman: Dinilai Nakal dan Kurang Perhatian
Berdasarkan penyelidikan Kepolisian Resor Kutai Timur, motif penganiayaan ini berawal dari kesalahan yang wajar dilakukan anak seusia MA: kenakalan. EP dilaporkan kerap kesal karena menilai MA sulit untuk dinasihati. Alih-alih mencari cara pengasuhan yang tepat, perempuan 32 tahun itu memilih untuk melampiaskan emosinya dengan cara paling kelam: kekerasan fisik.
Namun, kenakalan MA bukanlah tanpa sebab. Aiptu Wahyu Winako, Kasi Humas Polres Kutim, menjelaskan bahwa korban adalah anak yang kurang mendapat perhatian. “Suaminya (SW) ini jarang di rumah karena kerja. Jadi, anak ini kurang perhatian dari orang tuanya. Kenakalannya bisa dibilang adalah jeritan untuk mendapat kasih sayang yang tidak ia dapatkan,” ungkap Wahyu, menggambarkan kondisi keluarga yang tidak harmonis tersebut.
Diam yang Bersalah dan Pilih Kasih yang Menyakitkan
Peran SW dalam tragedi ini dinilai tidak kalah kelam. Ketidakberdayaan atau ketakutan pada istri membuatnya memilih untuk membiarkan penganiayaan itu terjadi. “Bisa dibilang ia takut pada istri. Saat istrinya melakukan penganiayaan, ayah korban ini diam saja. Makanya kami tetapkan sebagai tersangka juga karena ada unsur pembiaran,” tegas Wahyu. Diamnya SW adalah persetujuan diam-diam yang turut mencabut nyawa anak kandungnya sendiri.
Luka batin MA ternyata lebih dalam dari sekadar pukulan. Terungkap bahwa dalam rumah yang sama, SW dan EP memiliki anak hasil pernikahan siri mereka. Terhadap anak kandung mereka, pasangan ini berlaku penuh kasih sayang. Namun, kepada MA, mereka menunjukkan wajah yang berbeda sama sekali. “Bisa disebut, kepada anak kandungnya ia (SW) tidak perhatian, tetapi kepada anak dari istri siri sangat disayang,” jelas Wahyu. Pilih kasih ini menciptakan lingkungan yang toxic dan penuh luka bagi jiwa kecil MA.
Penganiayaan Terstruktur dan Kematian yang Mengenaskan
Kekerasan yang dialami MA bukanlah insiden satu kali. Polisi menyatakan bahwa pasangan ini kerap melakukan penganiayaan, dengan intensitas tertinggi dilakukan oleh EP yang lebih sering berada di rumah. Kekerasan yang terakhir pun benar-benar menghancurkan.
Kasus ini terbongkar berkat kewaspadaan paman korban. Saat melihat jenazah MA, ia langsung curiga karena seluruh tubuh keponakannya dipenuhi memar dan bengkak yang tidak wajar.
Kecurigaan itu terbukti benar. Hasil autopsi tim dokter menunjukkan gambaran kekejaman yang sukar dicerna akal sehat. MA mengalami kekerasan tumpul dan tajam. Tubuhnya dipenuhi luka memar di kepala, wajah, leher, hingga dada. Terdapat juga luka tusuk di kepala. Cedera paling fatal adalah patah tulang dasar kepala dan perdarahan otak yang masif.
“Korban meninggal dunia akibat kekerasan tumpul di kepala yang menekan batang otak hingga menyebabkan henti napas,” jelas Wahyu, merinci sebab kematian yang menyakitkan itu.
Barang Bukti Kekejaman dan Ancaman Hukum
Polisi telah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga kuat digunakan untuk menganiaya MA. Barang-barang itu antara lain celana yang dikenakan korban, sapu, pel lantai, dan sebuah balok kayu yang menggambarkan betapa sadisnya perlakuan yang diterima bocah malang tersebut.
Kini, EP dan SW telah ditahan di rumah tahanan (rutan) Polres Kutim. Keduanya dijerat dengan Pasal 80 ayat (1)-(4) jo Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman yang menanti mereka maksimal adalah 15 tahun penjara.
Namun, hukuman penjara seberat apa pun tampaknya tidak akan pernah sebanding dengan nyawa seorang anak yang harusnya masih bisa bermain, tertawa, dan melihat masa depannya yang cerah, bukan terkubur dalam kenangan kekejaman orang-orang yang seharusnya menjadi pelindungnya. Kasus ini menjadi peringatan pilu tentang betapa rentannya posisi anak dalam dinamika keluarga yang toxic dan tidak utuh.















